Penulis : Dr. Eben
Nuban Timo
Kita semua tahu apa itu penderitaan. Kita
bahkan mengalaminya. Orang biasa bilang bahwa penderitaan itu seperti bayangan
yang selalu ada sepanjang badan. Kadang-kadang bayangan itu di belakang kita
sehingga kita tidak menyadari keberadaannya. Tetapi sering juga bayangan itu
membentang di depan. Penderitaan menjadi sangat jelas dan mencekam.
Penyebab penderitaan juga macam-macam. Ia
datang kepada kita dalam bentuk sakit, gagal dalam usaha, diperlakukan secara
tidak adil, mengalami duka cita karena kematian orang yang kita kasihi, musibah
seperti bencana alam. Singkatnya ada banyak penyebab penderitaan. Apa pun
penyebabnya, penderitaan selalu ada. Ia seperti bayang-bayang yang selalu
menyertai hidup. Hanya orang yang sudah meninggal saja yang tidak mengenal dan
mengalami penderitaan. Atau mungkin juga orang mati menderita. Kita belum tahu
itu, karena kita belum mengalami sendiri.
Minggu-minggu ini umat kristen sedunia
memasuki saat-saat perenungan akan penderitaan Kristus dan maknanya bagi
mereka. Penderitaan selalu ada. Manusia tidak bisa berbuat lain kecuali
menghadapinya. Itu sebabnya adalah penting untuk kita merenungkan makna
penderitaan itu. Mungkin kita tidak suka melakukannya. Tetapi karena
penderitaan itu merupakan fakta yang tidak terhindarkan, kita harus menerimanya
dan menemukan maknanya. Inilah salah satu maksud penetapan perayaan
minggu-minggu sengsara alam kalender gerejawi.
Penderitaan perlu dihadapi dan direnungkan.
Ini mengandaikan bahwa ada makna positif yang bisa kita petik dari pengalaman
penderitaan. Ya, setidak-tidaknya itulah yang dikatakan oleh Henry Ward Becher.
Menurut Becher "menangis itu adalah rahmat". Waktu anak kami lahir di
negeri Belanda, seorang dokter datang membawa jarum suntik. Dia mengambil darah
dari telapak kaki anak kami. Tentu saja si bayi kesakitan. Ia menangis dengan
suara keras. Dokter yang merawat dia berkata: "Gooed..... Goed... doe
maar" (Baik-baik. Menangislah). Sambil memandang kepada saya dia berkata:
"Bayi yang menangis waktu disakiti adalah tanda bahwa bayi itu sehat.
Menangis juga perlu agar paru-parunya berkembang".
"Menangis adalah berkat." kata Henry
Becher. Ini juga berlaku bagi orang dewasa. "Karena dengan air mata Allah
membasuh mata kita agar melihat negeri yang tidak kelihatan, negeri yang tanpa
air mata." Saya rasa pendapat ini ada benarnya. "Yesus ada bersama
dua orang murid waktu mereka di dalam perjalanan ke Emaus. "Tetapi ada
sesuatu yang menghalang mata mereka sehingga mereka tidak dapat mengenal
Dia" (Yoh. 24:16). Mereka sangat terpaku pada cara hidup yang lama,
pendapat dan pengajaran yang lama tentang hidup, Allah dan kebenaran.
Penghayatan mereka tentang hidup bersifat statis dan monoton.
Sesuatu yang menutupi mata mereka itu
terangkat, waktu Yesus berbicara kepada mereka begitu rupa sehingga hati mereka
berkobar-kobar, mereka sangat tersentuh dan terharu dengan apa yang mereka
dengar itu (Yoh. 24:32). Sangat biasa jadi perasaan berkobar-kobar itu membuat
mata mereka basah karena air mata. Akibatnya mereka memperoleh pemahaman yang
baru mengenai hidup, Allah dan kebenaran. Mereka memperoleh perspektif baru
dalam memahami kitab suci. Mata mereka dapat melihat sesuatu yang baru pada apa
yang selama ini sudah mereka lihat. Saya kira Becher benar saat ia berkata :
"Menangis adalah berkat karena dengan air mata Allah membasuh mata kita
agar melihat negeri yang tidak kelihatan, negeri yang tanpa air mata".
Artinya dengan memahami penderitaan, pengharapan akan satu perubahan ke arah
yang lebih baik makin dilihat sebagai sebuah kebutuhan. Pengharapan akan hidup
yang lain dari keadaan sekarang (status quo) bertumbuh di dalam pengalaman
penderitaan.
Waktu pemerintah sekarang mengumumkan kenaikan
harga BBM, reaksi muncul di mana-mana. Banyak orang yang meminta agar harta
para koruptor besar disita oleh pemerintah untuk menanggulangi subsidi BBM,
proses pengadilan yang adil kepada para koruptor harus menjadi prioritas
pemerintah. Penderitaan ternyata mengajar orang untuk memperbaiki keadaan
hidup.
Penderitaan ada manfaatnya. Ia mendekatkan
kita kepada Allah, kata seorang pemikir yang lain bernama Harlod A Bisley.
"Penderitaan adalah kesempatan yang baik untuk berdoa. "Waktu hujan
tidak turun dan tanaman di kebun mulai layu dan ada ancaman kegagalan panen,
banyak orang berdoa. Kita cepat-cepat datang kepada Tuhan waktu pencobaan
datang."
Para awak kapal berseru masing-masing kepada
Allahnya waktu badai dan angin sakal menghantam kapal mereka. Itu cerita yang
kita baca dalam Kitab Yunus. Murid-murid Yesus juga berseru kepada sang guru
waktu mereka diserang badai secara tiba-tiba saat mereka sedang berlayar.
Bahkan Yesus sendiri juga mengambil waktu khusus untuk berdoa, waktu Dia berada
pada situasi yang kritis menjelang kematiannya.
Akh, bisa saja ada yang tidak setuju.
Penderitaan tidak membawa manfaat apa pun bagi manusia. Ia malah membuat umur
hidup seseorang menjadi lebih pendek. Lihat saja, gara-gara penderitaan ada
banyak orang yang stres, lalu mengalami strok dan kemudian stop. Karena
alasan-alasan ini ada ahli yang menolak untuk kita memuliakan penderitaan.
Penderitaan harus dilawan sekuat tenaga. Manusia harus berjuang untuk menolak
penderitaan yang ia alami.
Fakta-fakta yang kita catat di atas membuat
kita menjadi bijak. Penderitaan itu ada plusnya tetapi juga ada minusnya. Ini
memang fakta yang tidak mungkin dipungkiri. Teori macam apa pun tidak akan
mampu berkat yang kita peroleh dalam penderitaan menghilangkan sisi negatifnya.
Ini kalau kita bicara tentang plus-minus dari penderitaan. Daripada terjerat
dalam soal plus minus dan kita tidak pernah akan memperoleh kata sepakat
penderitaan dapat juga dilihat dari sisi lain. Sisi lain adalah sebagai
berikut.
Fakta mengatakan bahwa manusia tidak pernah sendirian
dalam menghadapi penderitaan. Dalam derita manusia kembali menjadi satu.
Penderitaan membuat perbedaan-perbedaan pendapat, konflik, dan perpecahan
mencair dengan sendirinya. Orang-orang yang hidup dalam permusuhan dan konflik
bisa dengan mudah melupakan konflik dan perbedaan pendapat yang ada di antara
mereka.
Coba kita lihat pengalaman penderitaan yang
kita alami sebagai satu bangsa karena bencana alam di Aceh. Belakangan ini
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang bersekutu dan persaudaraannya tercabik-cabik.
Bangsa Indonesia yang satu mengelompok dalam sentimen agama dan suku yang
sangat tinggi. Orang Islam menganggap orang Kristen sebagai ancaman. Mereka
saling memandang dengan penuh curiga, yang satu menganggap yang lain sebagai
kafir atau melakukan syirik.
Pengelompokan manusia Indonesia menurut agama
: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, orang kafir dan orang bertaqwa hilang
dengan begitu saja. Mereka yang berbeda-beda ini justru bergandengan tangan
menanggulangi dan menghadapi penderitaan. Ini sungguh satu mujizat. Ya, kalau
dalam keadaan suka cita kita cenderung terbelah-belah, maka dalam derita dan
duka kita kembali menjadi satu.
Pengalaman tidak sendiri dalam penderitaan
tidak merupakan satu yang bersifat horizontal belaka. Yang tidak kalah penting
untuk kita ketahui, juga di dalam minggu-minggu pra paskah ini, adalah
kenyataan berikut. Allah juga ada bersama kita. Ia menjadi satu dengan kita
yang menderita. Allah ternyata ikut ambil bagian dalam penderitaan manusia. Ia
yang kudus dan agung berkenan menyatukan nasibNya dengan nasib manusia.
Fakta ini kita alami di dalam Kristus. Paulus
menulis: "Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diriNya dan taat sampai mati, bahan sampai mati di kayu salib" (Fil 2:5-9)
Penderitaan memang menyakitkan dan menimbulkan
luka. Tetapi manusia tidak pernah sendiri menghadapinya. Selalu saja ada teman
dan sahabat yang ikut berbela rasa dengan kita memikul duka cita itu. Bahkan
Tuhan juga menjadi sahabat kita. Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah,
tiap hal boleh dibawa dalam doa padaNya. Inilah penghiburan sejati bagi
manusia. Ini sumber kekuatan kita menghadapi penderitaan dengan percaya bahwa
penderitaan itu bersifat sementara saja. Habis gelap akan terbit terang.
Penderitaan ternyata membangkitkan pengharapan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar